Selasa, 18 Februari 2014

SALAH KAPRAH: PETUNJUK BUKAN MANTRA



Sobat, pernah kan dengar ungkapan “Salah Kaprah”? Ya, frase tersebut terdiri dari dua kata. “Salah” dan “Kaprah”. Aslinya, kedua kata itu adalah bahasa jawab. Meski, salah itu juga bahasa Indonesia, tapi tidak ada perbedaan dengan bahasa Jawa. Adapun “Kaprah”, itu bahasa Jawa. Artinya, umum, biasa.
“Salah” berarti, keliru, tidak tepat, lawan kata benar. Sedangkan “Kaprah” makanya sesuatu yang sudah dianggap biasa oleh suatu masyarakat tertentu. Kalau digabung, menjadi “Salah Kaprah”, maka artinya, sebuah kesalahan yang sudah umum di massyarat, dan dianggap sudah biasa, sehingga kelihatannya benar.
Tentu banyak lah, salah kaprah-salah kaprah yang terjadi di masyarakat kita. Terutama tradisi dan “agama”. Hampir-hampir, tidak ada perbedaan antara tradisi dan agama bagi mereka. Padahal, keduanya amat sangat berbeda.
Contohnya Islam. Kalau dimengerti, Islam sebuah agama. Konon, meski Agama ini sudah lahir sejak Nabi Adam, namun perkembangannya melejit dan tampak jelas mulai Nabi Muhammad, di Arab. Yang jelas-jelas, menamakan agamanya dengan Islam. Sebagaimana terekam dalam sudar al-Maidah, alyauma akmaltu lakum dinanamu....
Agama beda dengan budaya. Walaupun dari Arab, Islam bukanlah Arab. Dan Arab tidak mesti Islam. Budaya Arab sudah ada duluan sebelum Islam masuk. Apalagi, Islam bukanlah Jawa. Dan Jawa juga pada dasarnya bukan Islam. Hanya saja, Islam bisa berasimiliasi dengan budaya. Tapi, kita harus tetap jeli membedakan antara agama dan budaya, adat atau tradisi. Karena ini sangat penting, agar tidak “Salah Kaprah”.
Baik, kita kembali pada Salah Kaprah. Benar sekali, kesalahan yang dianggap biasa itu justru muncul akibat tidak bisa membedakan antara agama dan tradisi. Kita ambil contoh, misalnya tahlilan, banjarian, istighatsahan, ziarah wali atau ziarah kubur, nelonan, tingkeban, resepsi, maulid Nabi dan yang semisalnya. Ini semua sekali lagi, bukan Agama tapi tradisi. Kalau pesan-pesan Agama masuk di dalamnya, itu bisa jadi. Tapi, kita bedakan dulu agar tidak terjadi salah kaprah.
Gunanya, agar kita tidak terlalu sentimen dengan sahabat kita yang melakukannya. Mungkin, mereka menemukan kenikmatan di dalamnya. Saya pun pernah mengikutinya, waktu itu dengan seorang Habib di Masji Nasional Al-Akbar, Surabaya. Juga tidak begitu ngajak-ngajak, untuk ikut di dalamnya. Karena mungkin, ada hal-hal yang lebih penting dari tradisi agamis  tersebut.
Hanya sekedar himbauan, boleh-boleh saja melakukannya asal tidak sampai “menduakan” Allah. Karena, memang Allah sangat keras ancamannya bagi yang menduakannya, “Orang mengampuni dosa semuanya, kecuali syirik”. Niatnya harus lurus kepada dan untuk Allah saja. Nah, termasuk hal-hal yang nyerempet kepada kemusyrikan, mengimani hal di luar nalar (tahayyul, bid’ah, khurafat), yang tidak ada sandarannya dalam Alquran dan hadis-hadis yang sahih.
Kenapa saya ambil contoh-contoh di atas, sekali lagi karena itu yang banyak di-salahkaprah-i oleh saudara-saudara kita.
Satu lagi nih, yang semalam saya sampaikan kepada adik-adik yang les di rumah saya. Tentang Alquran. Yah, Alquran bukan mantra. Bukan pula jimat. Tambah lagi, bukan nyanyian yang dilantunkan tanpa dipahami maknanya oleh si pembaca, dan hanya mengganggu kenyenyakan bayi yang sedang lelap tidur.
Benar sekali, Alquran itu petunjuk. Yang namanya petunjuk, harus diketahui dan dipahami konten petunjuk tersebut. Saya ilustrasikan begini; ada seorang kakek dari desa pedalaman bertanya kepada seorang bocah kota, kelas SMP yang kebetulan cas-cis-cus soal berbasa Inggris dan Arab. Si kakek yang kebetulan mau shalat, mencari tempat wudhu, bertanya:
“Nak, Nak, tempat wudhunya dimana yaa..?”
“Go straight. After that, turn left. Keep walking. There, you are going to find what you want. Take ritual water there...”
Mendengar ini, si Kakek pun bertanya balik, “Sampeyan ndungo (sedang berdoa) ta Nak...?” Hehehe...
            Seperti itulah Alquran. Salah kaprah, kalau hanya dijadikan jimat, mantra, atau lantunan-lantunan yang tidak dipahmi maknanya. Alquran menjadi tidak berguna bagi seseorang, kalau dia tidak memahaminya. Dia tidak akan bisa menangkap isi petunjuk itu sendiri. Kan, yang penting isi petunjuknya?!



NB: Silahkan IZIN kepada penulis di: ahmadsaifulislam@gmail.com (085733847622), bila berminat menerbitkan artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J)
Yuk diskusi juga di @ipoenkchampion, dapatkan kultweet yang menyegarkan intelektual, emosional dan spiritual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...