Kamis, 13 Februari 2014

BUKTI ANDA MEMANG UNIK



         

         Entah darimana kisah ini saya temukan. Tapi memang cukup terkenal. Begini, Lukman al-Hakim sedang berjalan dengan putranya. Mereka membawa seekor keledai. Pertama keledai itu dinaiki oleh Lukman, dan melintas di beberapa orang yang sedang cangkuran. Orang-orang embongan ini komen, “Dasar bapak nggak punya perasaan. Masak tega, anaknya suruh berjalan?!”
            Lukman pun turun. Kini, giliran anaknya yang naik keledai. Lagi-lagi lewat di depan orang-orang yang sedang leyeh-leyeh. Mereka pun komen juga, “Ooo anak kurang ajar. Masak orang tua disuruh berjalan?”
            Akhirnya, Lukman dan anaknya tidak menungganginya. Keduanya jalan sambil menuntun keledainya. Di perjalanan, bertemu lagi dengan beberapa orang yang sedang nyantai. Orang-orang ini pun komentar, “Goblok bener orang ini. Punya keledai nggak ditunggangi”.
            Begitulah. Kalau kita nuruti kicauan orang lain, kita akan selalu salah, bingung, nggak punya pendirian, dan akhirnya tidak bahagia. Padahal, seorang pemimpin itu sudah pasti mempunyai prinsip yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, kecuali Tuhan. Apalagi pemimpin keren (hebat, maksud saya).
            Tidak rahasia lagi, orang-orang di sekitar kita kadang atau bahkan sering menyalahkan ide atau keputusan yang kita ambil. Mereka ingin, kita seperti apa yang mereka pikirkan. Mereka ingin kita hidup dalam dunia mereka. Meski, mereka juga tidak yakin kebenaran ide, saran, pendapat maupun ajakannya sendiri.
            Agar tulisan ini lebih emosional, dan juga sampai di hati, maka saya akan sampaikan pengalaman sendiri yang juga dari hati. Tidak sedikit, yang mengatakan bahwa saya ini kaku dalam berpikir. Kalau sudah A ya A. Maunya sendiri.
            Jujur, kadang saya gusar dengan pendapat orang-orang ini. “Apakah cara berpikir saya salah?! Apakah saya kaku?! Apakah berpikir kaku dan semau saya itu salah?! Apakah saya berdosa?!” begitu saya tanya-tanyakan pada diri sendiri.
            Tapi di lain sisi, ya dengan gaya berpikir begini inilah saya sering juara saat SMA. Berturut-turut dua tahun saya diikutkan olimpiade kimia dan fisika. Bahkan, pernah sekolah saya mengadakan lomba fisika, kimia, matematika, dan sebagainya. Hasilnya, saya pemenang ke-2 sesekolah ini untuk Matematika. Tentu dapat hadiah.
            Ketika tidak adanya kepastian jaminan biaya dari orang tua, saya pun nekat merantau untuk kuliah. Toh, nyatanya saya bisa hidup, dan malah lulus prematur sebagai wisudawan terbaik ke-2. Saat kuliah, pun tidak jauh berbeda. Saya bisa mengkhatamkan Alfiyah Ibnu Aqil sendiri. Menghafalkan Alquran beberapa jus. Saat semester 6, saya sudah menulis buku. Saat KKN, ada info dari sebuah penerbit bonafit di Jakarta yang mau menerbitkannya. Itu lah buku, “Berpikir, Bersikap dan Beraksi ala Pemenang”.
            Sepengetahuan Ketua Jurusan, saat saya tanya, bahwa memang belum ada lulusan yang menulis dan sudah menerbitkan buku yang go nasional. Apalagi masih mahasiswa. Makanya, dia kepengen banget membeli buku-buku saya. Sayangnya, saat saya carikan di Royal waktu itu, sudah habis. Maaf ya Bu.
            Pikiran “semau gue”, tidak berhenti di situ. Ketika tidak ada kepastian mau kerja apa, saya nekat saja menikah. Jujur, waktu itu motivasi saya hanya Allah. Nggak perduli apa kata mereka. Hasilnya? Saya punya les-lesan sendiri (doakan, kedepannya bisa jadi pesaantren modern Alquran-Hadis berbasis entreprenuership, aamiin). Punya bisnis sendiri. Bisa terus menulis. Terus mengajar. Lahir buku ke-2, “Pemenang Di Atas Pemenang”. Punya pekerjaan. Dan sampai sekarang, sudah diberikan calon momongan oleh Allah.
            Akhirnya, saya pun ragu dengan komentar mereka yang mengatakan saya kaku. Saya takut, proses pikiran mereka error saat memberi komen kaku. Ya, ini memang gayaku. This is my style, this is my life. Bisa dibayangkan, kalau saya tidak memiliki cara berpikir seperti ini (yang katanya kaku). Saya tidak akan juara di dunia akademik mulai SMA hingga kuliah. Saya tidak akan melahirkan karya. Saya tidak akan menikah dan saya tidak akan meraih prestasi-prestasi dan kontribusi di atas.
            Memang kata Allah dalam Alquran bahwa yang banyak itu adalah yang tidak tahu. Meski saya tidak mengklain diri ini tahu. Saya terus merasa belum tahu. Makanya saya mesti terus belajar. Jadi, kita memang harus punya pendirian. Sudah fitrahnya, kita beda. Kita ini adalah hasil “kreativitas Allah”. Yang tidak mungkin sama satu sama lain.
            Oleh karenanya, saya ingin terus berprestasi dan berbagi. Saya ingin sharing, terutama perjalanan intelektual, emosional dan spiritual saya. Karena saya tahu, ini semua akan sia-sia kalau tidak dibagikan saat masih hidup. Dan hidup yang sekali ini, memang ladang untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Sabda Nabi, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi lainnya”.

Yuk diskusi di twittter @ipoenkchampion
NB: Bila berminant menerbitkan artikel ini, hubungi: ahmadsaifulislam@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...