Entah
darimana kisah ini saya temukan. Tapi memang cukup terkenal. Begini, Lukman
al-Hakim sedang berjalan dengan putranya. Mereka membawa seekor keledai.
Pertama keledai itu dinaiki oleh Lukman, dan melintas di beberapa orang yang
sedang cangkuran. Orang-orang embongan ini komen, “Dasar bapak nggak punya
perasaan. Masak tega, anaknya suruh berjalan?!”
Lukman pun turun. Kini, giliran
anaknya yang naik keledai. Lagi-lagi lewat di depan orang-orang yang sedang
leyeh-leyeh. Mereka pun komen juga, “Ooo anak kurang ajar. Masak orang tua
disuruh berjalan?”
Akhirnya, Lukman dan anaknya tidak
menungganginya. Keduanya jalan sambil menuntun keledainya. Di perjalanan,
bertemu lagi dengan beberapa orang yang sedang nyantai. Orang-orang ini pun
komentar, “Goblok bener orang ini. Punya keledai nggak ditunggangi”.
Begitulah. Kalau kita nuruti kicauan
orang lain, kita akan selalu salah, bingung, nggak punya pendirian, dan
akhirnya tidak bahagia. Padahal, seorang pemimpin itu sudah pasti mempunyai
prinsip yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, kecuali Tuhan. Apalagi
pemimpin keren (hebat, maksud saya).
Tidak rahasia lagi, orang-orang di
sekitar kita kadang atau bahkan sering menyalahkan ide atau keputusan yang kita
ambil. Mereka ingin, kita seperti apa yang mereka pikirkan. Mereka ingin kita
hidup dalam dunia mereka. Meski, mereka juga tidak yakin kebenaran ide, saran,
pendapat maupun ajakannya sendiri.
Agar tulisan ini lebih emosional,
dan juga sampai di hati, maka saya akan sampaikan pengalaman sendiri yang juga dari
hati. Tidak sedikit, yang mengatakan bahwa saya ini kaku dalam berpikir. Kalau
sudah A ya A. Maunya sendiri.
Jujur, kadang saya gusar dengan
pendapat orang-orang ini. “Apakah cara berpikir saya salah?! Apakah saya kaku?!
Apakah berpikir kaku dan semau saya itu salah?! Apakah saya berdosa?!” begitu
saya tanya-tanyakan pada diri sendiri.
Tapi di lain sisi, ya dengan gaya
berpikir begini inilah saya sering juara saat SMA. Berturut-turut dua tahun
saya diikutkan olimpiade kimia dan fisika. Bahkan, pernah sekolah saya
mengadakan lomba fisika, kimia, matematika, dan sebagainya. Hasilnya, saya
pemenang ke-2 sesekolah ini untuk Matematika. Tentu dapat hadiah.
Ketika tidak adanya kepastian
jaminan biaya dari orang tua, saya pun nekat merantau untuk kuliah. Toh,
nyatanya saya bisa hidup, dan malah lulus prematur sebagai wisudawan terbaik
ke-2. Saat kuliah, pun tidak jauh berbeda. Saya bisa mengkhatamkan Alfiyah Ibnu
Aqil sendiri. Menghafalkan Alquran beberapa jus. Saat semester 6, saya sudah
menulis buku. Saat KKN, ada info dari sebuah penerbit bonafit di Jakarta yang
mau menerbitkannya. Itu lah buku, “Berpikir, Bersikap dan Beraksi ala
Pemenang”.
Sepengetahuan Ketua Jurusan, saat
saya tanya, bahwa memang belum ada lulusan yang menulis dan sudah menerbitkan
buku yang go nasional. Apalagi masih mahasiswa. Makanya, dia kepengen banget
membeli buku-buku saya. Sayangnya, saat saya carikan di Royal waktu itu, sudah
habis. Maaf ya Bu.
Pikiran “semau gue”, tidak berhenti di
situ. Ketika tidak ada kepastian mau kerja apa, saya nekat saja menikah. Jujur,
waktu itu motivasi saya hanya Allah. Nggak perduli apa kata mereka. Hasilnya?
Saya punya les-lesan sendiri (doakan, kedepannya bisa jadi pesaantren modern
Alquran-Hadis berbasis entreprenuership, aamiin). Punya bisnis sendiri. Bisa
terus menulis. Terus mengajar. Lahir buku ke-2, “Pemenang Di Atas Pemenang”.
Punya pekerjaan. Dan sampai sekarang, sudah diberikan calon momongan oleh
Allah.
Akhirnya, saya pun ragu dengan
komentar mereka yang mengatakan saya kaku. Saya takut, proses pikiran mereka
error saat memberi komen kaku. Ya, ini memang gayaku. This is my style, this is
my life. Bisa dibayangkan, kalau saya tidak memiliki cara berpikir seperti ini
(yang katanya kaku). Saya tidak akan juara di dunia akademik mulai SMA hingga
kuliah. Saya tidak akan melahirkan karya. Saya tidak akan menikah dan saya
tidak akan meraih prestasi-prestasi dan kontribusi di atas.
Memang kata Allah dalam Alquran
bahwa yang banyak itu adalah yang tidak tahu. Meski saya tidak mengklain diri
ini tahu. Saya terus merasa belum tahu. Makanya saya mesti terus belajar. Jadi,
kita memang harus punya pendirian. Sudah fitrahnya, kita beda. Kita ini adalah
hasil “kreativitas Allah”. Yang tidak mungkin sama satu sama lain.
Oleh karenanya, saya ingin terus
berprestasi dan berbagi. Saya ingin sharing, terutama perjalanan intelektual,
emosional dan spiritual saya. Karena saya tahu, ini semua akan sia-sia kalau
tidak dibagikan saat masih hidup. Dan hidup yang sekali ini, memang ladang
untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Sabda Nabi, “Sebaik-baik manusia adalah
yang paling bermanfaat bagi lainnya”.
Yuk diskusi di twittter @ipoenkchampion
NB: Bila berminant menerbitkan artikel ini, hubungi: ahmadsaifulislam@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar