Kecelakaan
dan ketidakbahagiaan itu banyak terjadi karena tidak tahu antara hak dan
kewajiban. Kok bisa tidak tahu hak dan kewajiban? Karena tidak belajar, tidak
mengerti, atau karena bodoh yang tidak tahu kebodohannya dan tidak mau belajar,
sok tahu lagi yang menyebabkan hati dan akalnya terkunci. Dia tidak tahu, mana
kewajibannya dan mana yang haknya.
Kerakusan
akibat kebodohannya, membuat semua milik orang diaku. Tidak mengerti birokrasi.
Dengan entengnya dia mengatakan, “Ini buminya gusti Allah”, ketika petugas
Satpol PP melakukan penertiban. Dikiranya, semua tidak ada aturannya. Dia belum
tahu bahwa ini negara hukum. Tentu saja hukum Allah yang diwujudkan dalam
bentuk Undang-Undang.
Ada
juga yang meski sudah tahu bahwa itu bukan haknya, sebaliknya hak orang lain,
masih nekat juga menggasaknya. Dikira, hukum negara bukan hukum Allah.
Mengatakan, “Ini bumi gusti Allah” pun sebenarnya hanya apologi untuk
membenarkan tindakannya yang jelas-jelas salah. Sebenarnya, model orang seperti
ini pun adalah orang yang tidak takut kepada Allah. Radar hatinya akan kebaikan
sudah sakit, karena tidak shalat atau bahkan maksiat mungkin.
Itulah
faktanya, bahwa tidak semua orang takut sama Allah. Satu-satunya hal yang
membuat mereka takut, jera dan menjadi rem ketika mau berbuat semena-mena
adalah hukum negara atau penjara. Bila terjadi kriminal, atau tindakan yang
berpotensi menjadi kriminal, solusinya bukan bertengkar, adu mulut, atau adu
jotos. Orang bijak, langsung menyerahkannya ke pihak yang berwajib, kepolisian.
Bisa
lapor ke Polsek terdekat. Ada yang tanya kepada saya, “Bagaimana jika oknum
Polseknya jahat? Lapor ke Allah yaa?” Bisa lapor ke Polres. Kalau masih ada
oknum lagi, ke Polda. Insya Allah dari sekian banyak orang itu, seseorang akan
takut atau malu menjadi oknum. Insya Allah, hukum bisa ditegakkan. Yang jelas,
lapor memang gratis. Bahkan Polsek senang ada orang yang lapor. Sebab,
mengurangi tugasnya, kedua bisa menaikkan prestise.
Kalau
lapor ke Allah? Itu nomor pertama. Tapi, setelah lapor ke Allah jangan diam.
Kaki tetap melangkah ke Polsek terdekat. Inilah makna tawakkal, yaitu ketika
ketemu antara usaha langit dengan usaha bumi. Usaha langit dalam hal ini,
mengadu kepada Allah. Nah, usaha buminya, mengadu ke pihak yang berwajib.
Tadi
malam di TVOne, saya nonton Lawan Bicara, soal Lokalisasi. Salah satu
pembicaranya adalah Hidayat Nurwahid. Dia dan teamnya tidak setuju bahwa untuk
menangani HIV HAID itu dengan melegalkan prostitusi. “Semua agama di negara
kita melarang free sex. Hukum harus ditegakkan”, katanya. Tapi lawan bicaranya
menyimpulkan bahwa pemerintah tidak mau tahu, dan hukumpun sudah banyak
oknumnya. Nah, menurut saya hukum jangan digeneralisir seperti itu. Banyak juga
kok Pak Polisi kita yang amanah. Pak Polisi yang amanah itu, adalah sahabat
kita, pelayan kita. Sekali lagi, polisi yang baik pasti lebih banyak.
Solusinya, cari dong sampai nemu?!
Polisi,
jangan selalu distigmakan negatif. Kalau kita ditilang, kalau kita memang
salah, ya gentle dong?! Kita harus mengakui kesalahan. Bahkan menurut saya,
hukum negara kita ini adalah hukum Allah juga. “Taatilah Allah, rasul dan
pemimpinmu”, begitu bunyi firman Allah yang terkenal. Nah, urusan kita bayar
saat ditilang, ternyata itu salah kita. Kenapa mau bayar di tempat?! Kalau
pengen benar, ya STNK kita ambil di pengadilan. Atau bahkan kejaksaan.
Kira-kira seperti itu juga mekanisme Polsek, Polres, Polda dan seterusnya.
Orang-orang
yang bodoh, apalagi sudah tidak tahu Allah, pasti tidak mempan diarahkan pakai
dalil. Kita pun tidak dibenarkan baik oleh Allah maupun negara, main hakim
sendiri, main pukul sendiri. Tidak boleh! Nah, makanya kita harus menempuh
jalur yang paling bijak, paling benar, baik menurut Allah maupun menurut hukum
negara, yaitu lapor kepada prosedur hukum yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar