Minggu, 23 Februari 2014

FENOMENA KUALITAS MANUSIA



Menurut saya, orang harus membuat budaya. Otomatis, dia tidak boleh mengikuti arus budaya yang sudah ada. Dia harus membawa orang-orang di sekitarnya dalam budaya hidupnya. Dan dia tidak mau ikut budaya mereka. Oleh karenanya, dia harus membuat budaya. Dia harus menciptakan budaya. Agar orang lain mengikutinya. Secara fisik, dia harus membuat budaya. Dan secara fisk pula, dia tidak boleh mengikuti mereka. Dia harus jadi dirinya sendiri. Tidak boleh sembarang orang menasehatinya. Kalau pun boleh, dia tidak boleh nurut hal-hal yang prinsipil. Walaupun dia tidak boleh merendahkan mereka.
Sebenarnya saya risih menyebut “orang kecil”. Karena pada dasarnya semua orang itu besar. Dan kalau saya menyebut “orang kecil” dan “orang besar”, saya khawatir pula ada orang yang tersinggung. Sekali lagi, sebenarnya tidak ada “orang kecil” dan “orang besar”. Semua orang itu besar. Tapi, tidak bisa dipungkiri manusia itu bertingkat-tingkat. Sisi kepribadiannya menyangkut kualitas pribadinya, maupun pencapaian prestasinya. Baik yang terkait dengan prestasi dunia, maupun prestasi akherat. Bahkan, iblis itu tidak hanya berbentuk jin tapi juga manusia. Artinya, memang ada manusia yang kelas bawah, menengah dan atas. Jadi, tidak salah akhirnya saya menyebut ada “orang kecil” dan “orang besar”. Tolong jangan hanya diasumsikan “orang kecil” itu dari sisi ekonominya. Begitu juga “orang besar”.
Dan sebenanrya juga saya sungkan menyebut orang bodoh dan orang pintar. Saya khawatir kalau saya menyebut orang bodoh, orang jahil, eh nanti saya dikira sombong mengaku diri sebagai orang pintar. Sekali lagi tidak. Karena memang pada dasarnya, orang itu ada yang bodoh. Ada juga yang berilmu. Alquran saja mengisahkan orang-orang bodoh. Dan memuji orang yang berilmu. Kita diperintahkan untuk menjauhi orang-orang bodoh, “wa a’ridh ‘anil jahilin”. Orang bodoh itu ada. Orang pintar dan berilmu itu ada. Kita harus memilih masuk dalam golongan orang-orang berilmu. Karena hanya dengan ilmu, semuanya akan terang benderang. Ilmu itu identik dengan cahaya, kesuksesan, keberhasilan, kesehatan, hidup full manfaat dan barokah, terdepan dalam presatasi, dan hal-hal menarik lainnya. Sebaliknya, bodoh itu identik dengan kegelapan, keterpurukan, kesesatan, kemiskinan, dan hal lain yang tidak mengenakkan untuk diceritakan sebenarnya.
Fakta menyebutkan, bahwa cendekiawan, ilmuwan, pencinta ilmu, yang sekolah hingga jenjang tertinggi, itu lebih sedikit dibanding dengan orang rata-rata. Itu artinya, orang yang pintar, berilmu lebih sedikit dari orang bodoh. Masyarakat kita banyak yang belum pintar. Sekali lagi, saya sebenarnya risih menyebut orang bodoh. Nah, karena orang berilmu itu memang sedikit, pasti budaya orang berilmu itu pun sedikit. Pendapat orang berilmu itu pun sedikit. Dan kebenaran itu juga sedikit dan unik. Makanya, kalau ada pendapat yang nyentrik, tinjau dulu, cermati dulu yang teliti. Barangkali itu adalah kebenaran yang datang pada Anda. Kalau pendapat rata-rata itu banyak, pendapat di atas rata-rata itu sedikit. Jadi, kalau kita mengikuti rata-rata, hati-hatilah karena bisa jadi Anda masuk dalam golong yang besar, golongan orang bodoh.
Solusinya? Cermatilah pendapat Einstein berikut ini: Jika A adalah kesuksesan, maka X, Y, Z adalah faktor-faktornya. X adalah bekerja, Y adalah bermain, Z adalah tidak berkata yang tidak bermanfaat. Artinya, sibukkanlah diri Anda dalam pekerjaan Anda. Terus, refreshinglah dengan bermain. Dan yang ketiga, jangan berbicara yang sia-sia. Pesan Nabi Muhammad, hendaklah berkata yang baik, kalau tidak bisa, diamlah. Sungguh beda orang besar dengan orang kecil. Sungguh lain, orang berilmu dengan orang bodoh. Orang besar dan berilmu, sibuk kerja, tidak berkata yang sia-sia, sedangkan orang kecil dan bodoh menghabiskan waktunya untuk melakukan hal-hal yang kecil dan tidak bermanfaat, dan membicarakan hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Maklumlah, orang besar dan berilmu sukses. Sebaliknya, gagal.
Allah saja, malaikat saja senang dengan orang yang berilmu. Allah dan malaikat saja, mengapresiasi orang yang berilmu. Apalagi manusia, pastilah senang, suka, cinta pada orang yang berilmu. Tapi itu bagi manusia yang masih suci sifat dasarnya, sifat fitrahnya masih bersih, suci dan baik. Kalau manusia yang sudah rusak fitrahnya, mungkin karena dosa yang telah menggumpal-nggumpal dalam dirinya, pasti membenci orang yang berilmu. Mereka malah membenci orang berilmu. Mereka malah anti dengan kebenaran. Dan cinta kepada kesalahan, kemaksiatan, kelacuran, kebodohan, kesesatan dan seterusnya. Oleh karenanya, tidak ada jaminan orang baik itu akan banyak pengikutnya. Sebaliknya, orang baik itu juga ada musuhnya. Maka, bagi orang baik harus teguh pendirian. Harus konsisten dan komitmen dengan kebenaran yang diyakininya. Lah, kalau tidak komit dan konsis dengan kebenaran yang diyakininya, terus mau percaya sama siapa lagi? Kalau begitu nggak usah sekolah tinggi-tinggi, nggak usah cari ilmu susah-susah, kalau hanya ikut-ikutan apalagi hanya karena takut.
Saya sendiri, terus terang saja risih jika sesuatu itu dipegang oleh yang bukan ahlinya. Dan saya sangat bahagia, senang menyaksikan seorang ahli pada bidangnya. Kalau saya menyerahkan masalah pada halinya, 100% hati saya tenang. Bayar lebih mahal pun, nyaman. Tapi kalau di-handle yang tidak kredibel, baru mulai saja sudah ketar-ketir. Was-was, takut, ngeres hati dan pikiran ini rasanya. Makanya, jadilah diri sendiri saja. Jangan sampai kita mengikuti orang-orang bodoh di atas. Jangan sampai kita masuk dalam golongan orang-orang bodoh. Cepat atau lambat, masyarakat akan menilai kita. Kalau plin-plan, orang lain malah semakin menjauh dari kita. Kita harus tegas. Kita harus punya azem yang besar.
Satu sahabat saya dulu punya prinsip, saya tidak mau mengajar keluar. Siapa yang mau belajar, ya dia harus datang ke sini. Yang butuh itu dia bukan saya (walau pun sebenarnya dia juga butuh). Apa jadinya, muridnya benar-benar berjubel. Di sini, sahabat saya itu menjaga harga dirinya, juga harga ilmunya yang layak dibayar mahal. Bahkan sekarang bisnisnya semakin berkembang. Dan akhirnya jadi pondok pesantren dengan bisnis tetap. Orang butuh keras kepala. Kalau kita suka hal-hal yang sia-sia, orang lain sulit memanfaatkan kita, apalagi membayar mahal.


NB: Silahkan IZIN kepada penulis di: ahmadsaifulislam@gmail.com (085733847622), bila berminat menerbitkan artikel-artikel di blog resmi ini. Terimakasih, Salam Menang…J)
Yuk diskusi juga di @ipoenkchampion, dapatkan kultweet yang menyegarkan intelektual, emosional dan spiritual.

(foto:1firmantuhan.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AHMAD SAIFUL ISLAM

Ahmad Saiful Islam Sarjana Tafsir Hadis UINSA Surabaya Lahir di Banyuwangi,  3 Mei 1987 Islamic Journalism Community  (IJC) Surabaya (2010)...